12.1.19

[book] Monsoon Tiger and Other Stories by Rain Chudori




Ini kali pertama saya baca bukunya Rain Chudori dan saya memulainya dengan Moonsoon Tiger and Other Stories, yaitu kumpulan cerita-cerita pendeknya. Kayaknya ke depannya bakal baca novelnya hehe abisnya seneng sama cara nulisnya Rain. Awalnya, saya kira Rain akan setipe dengan Leila S Chudori—ibunya—tapi ternyata beda. Ya iya sih, bukan berarti anak dan ibu harus punya gaya penulisan yang sama. And also a prejudice came that I thought Rain’s writing wouldnt be this soft..

Monsoon Tiger and Other Stories sendiri merupakan kumpulan cerita pendek pertama Rain Chudori pertama yang dipublikasikan. Bukunya lumayan tipis dan ada delapan judul. Seperti yang sudah dikatakan di belakang buku, it tells the tale of loneliness and love, and yes it does. Dan didukung lagi plotnya yang sepi.

Saya senang sama ceritanya yang ngga biasa, ngga mainstream. Yang saya temukan dari buku ini adalah tentang meninggalkan, ditinggalkan, dan melepaskan (terlepas dari rela atau tidak). Saya senang dengan pemilihan kata-katanya. Walaupun ada beberapa kata yang bikin saya harus cari di kamus lagi (alhamdulillah vocab saya jadi nambah)

Sebenarnya kumpulan cerita pendek ini bisa dihabiskan dalam kurun waktu yang sebentar sih, tapi karena saya memang suka menunda-nunda, jadi lah baru selesai sekarang. Padahal belinya dari November hehe. Apalagi kalau cerpen gini, memang malah paling suka saya tunda-tunda dan diselingi bacaan lain. Kalau udah habis satu atau dua judul suka saya tutup dan berniat akan dilanjuti nanti-nanti. Cerita terakhir di buku ini adalah cerita yang saya habiskan sendiri karena memang saya niatkan baca cerita terakhir ini sendiri setelah selesai membaca dua cerita sebelum cerita terakhir. 

Mungkin ini salah satu alasan saya menyukai cerita terakhir dari buku ini, Until Berlin. Saya lebih menikmatinya. Kayak setiap kata-katanya ngena di saya dibanding cerita-cerita lainnya. Entah karena ‘Until Berlin’ ini memang bagus atau karena beberapa judul saya baca agak tergesa-gesa dan cepat-cepat ingin menyelesaikannya agar bisa lanjut ke cerita selanjutnya jadi nggak dapet feelnya sedangkan di ‘Until Berlin’ saya benar-benar mendalami saat membacanya.  I dont know but I feel like Rain herself knows that Until Berlin might be the best one so she puts it in the last as the closing. Wah ini sok tau banget sih. Tapi kalau memang benar, she did the right thing. Saya mungkin nggak akan terlalu berkesan dengan Monsoon Tiger and Other Stories ini kalau bukan Until Berlin sebagai penutupnya. Karena saya hampir selalu dapat kesan buku tersebut somehow leaves the feeling and cant forget the feeling after reading the book itu ya di akhir cerita.


Terus juga tanpa bermaksud menyamakan Rain dengan Murakami, tapi baca bukunya Rain ini saya ngerasa kayak ada sentuhan-sentuhan ala Murakami gitu deh untuk beberapa ceritanya Rain. Adakah yang ngerasa sama kayak saya? 

Rasanya setiap baca buku pengen terima kasih sama penulisnya deh huhu entah karena ‘perasaan-perasaan’ setelah baca bukunya atau karena dapat inspirasi yang sebenernya ngga relevan dengan isi buku. And this time I would like to thank Rain Chudori! I will definitely read her novel, Imaginary City, maybe?


11.1.19

Confession and Determination


Awalnya pengen ceritain ini di twitter tapi takutnya kepanjangan dan malah ngga nyaman sendiri kalau dibaca dari twitter. Meanwhile kalau nulisnya di sini kemungkinan orang untuk bacanya lebih kecil. Intinya kalau saya mau curhat panjang memang lebih nyaman ke blog sih..
.
.
Setelah kesibukan-kesibukan di luar belajar untuk kuliah tahun 2018 sudah berakhir, 2019 ini saya masih harus melanjutkan beberapa kegiatan yang sama (tapi semoga dengan wajah dan suasana yang baru) kayak tahun lalu. Tahun lalu itu selain ikut himpunan saya juga ikut ukm sosial gitu di kampus. Di kampus saya emang lazimnya di tahun kedua ini adalah masanya jadi staff biasa. Mendekati akhir kepengurusan, saya nggak ada keinginan untuk lanjut di dua tempat ini, baik himpunan maupun ukm ini. Alasannya sih pengen nyari tempat lain yang lebih ‘luas’. Maksudnya lebih luas di sini tempat yang orang-orangnya bukan dari fakultas dan jurusan aja. Biar lebih banyak ketemu orang dengan background yang beda-beda gitu ceritanya.

Tapi singkat cerita, setelah mendengar cerita salah satu kating saya yang cemerlang, jadi ada sedikit keinginan lanjut di salah satu dari dua tempat tadi tanpa menghilangkan keinginan untuk nyari tempat baru yang lebih luas. Maksudnya di sini bukan kepedean bakal diajak sama teman yang berwenang memilih orang-orang untuk kepengurusan yang baru, tapi lebih kayak yang in case memang diajak bergabung lagi, I will said yes. Kalau nggak yah yaudah ganti plan gitu. Walaupun di kedua tempat tadi sebenernya saya udah ngomong nggak akan lanjut WKWK :(

What surprises me is, saya diajak lanjut yang di ukm ini. Kenapa kaget? Ya karena memang nggak bakal expect akan diajak lagi sih mengingat saya dulu lebih sering ke himpunan dan memang kayak nggak ada tanda-tanda saya bakal diajak lanjut.

Lalu saya bingung.

Saya ngga tau sih orang-orang bakal bingung kayak saya atau ngga untuk hal-hal yang kayak gini. Mungkin beberapa orang ada yang sepele atau berpikiran hal kayak gini ngga usah diambil pusing. Tapi saya masuk ke salah satu orang yang ambil pusing karena menurut saya ini ngga sepele. Ya emang balik lagi ke pandangan orang masing-masing sih. Saya mandang ini secara serius dan ini tentang tanggung jawab.

Saya bingung karena awalnya memang nggak mau sama sekali lanjut di sini untuk alasan-alasan tertentu. Kalau boleh jujur, I prefer choosing Hima. Saya bahkan ngomong kayak gini ke temen saya yang ngajak lanjut di ukm itu (padahal ngga tau di Hima bakal diajak lanjut atau ngga orang Kahim terpilihnya aja belum ada). Btw memang ketua baru untuk kepengurusan selanjutnya di ukm ini udah lebih dulu ada daripada pengumuman Kahim baru.

Tapi saya nggak langsung ngasih jawaban. Saya bilang saya mikir dulu karena emang mau nanya-nanya dan ngga mau salah ngambil keputusan.

Sebenernya dengan apa yang disampein sama temen saya ini waktu ngajak saya udah cukup meyakinkan saya untuk lanjut sih. Tujuan saya dan dia sama. Saya setuju sama hampir semua apa yang dia sampein karena sebelum dia ngomong pun saya udah berpikiran kayak gitu. Tapi ternyata masih ada ego saya yang belum bisa dikalahin. Waktu itu saya masih kepikiran kalau diajak Hima saya akan ngomong iya. Kalau ngga ya ngga lanjut di keduanya.

Mengingat juga teman-teman sepermainan saya di kampus sebagian besar akan ke Hima terus saya beranggapan jadi bakal lebih asik aja. Nggak perlu beradaptasi dan menyesuaikan diri lagi (untuk orang-orangnya ya). Ini sebenarnya agak kontradiktif sih sama apa yang pernah saya bilang kalau saya nggak bisa kerja sama temen yang terbilang deket karena jatohnya nanti malah nggak enak. Harusnya salah satu alasan ini bisa dijadikan alasan saya untuk lanjut ke ukm aja. Tapi ya saya nggak mau nerima tanggung jawab cuma karena alasan-alasan kecil, sepele, dan main terima aja karena nggak ada pilihan lain.

Sebenernya apa yang ditawarin temen saya ini sejalan banget sama apa yang saya rencanain. Tapi keinginan untuk senang dan sedih menjalani aktivitas bareng sama teman-teman yang udah kenal deket duluan itu sedikit menghalangi. Tapi ada kata-kata dari temen saya ini yang bikin kepikiran terus. Terus saya mikir lagi kalau saya nggak mau lanjut cuma karena alasan-alasan yang sebenernya bisa diatasi BANGET (ada banyak alternatif lain), saya kayak mengkhianati diri sendiri..... Bukannya ini memang keinginan saya ya (bukan keinginan untuk lanjutnya tapi keinginan ‘jangka panjang’). Temen saya ini sebenernya seakan-akan udah ngasih bantuan tumpangan buat nyampe ke tujuan walaupun sebenernya masih jauh dan nantinya harus nyari tumpangan lain lagi.

Pokoknya setelah mempertimbangkan dengan alasan-alasan yang rasional, minta diyakini lagi sama temen saya a.k.a ketua barunya, dan berhasil mengalahkan ego, saya memutuskan untuk lanjut ke ukm ini. Awalnya suka sedih sih temen-temen deket saya pada lanjut Hima dan omongannya Hima melulu sedangkan saya beda sendiri jadi kadang milih denger cerita-cerita temen-temen aja karena takutnya kalau ikut cerita they can’t relate.

Tapi kan ini memang tentang memilih ya. Yang tau kebutuhan dan tujuan kita itu ya kita sendiri. Kita punya pilihan masing-masing dan kita punya alasan tersendiri kenapa milih hal tersebut. Dan saya ngga bakal jabarin secara rinci juga di sini sih kenapa pada akhirnya saya mau lanjut di sini karena untuk beberapa orang itu akan terdengar kayak omong kosong hehe. Saya ngasih tau alasan-alasan yang sebenernya juga cuma ke mereka yang merasa perlu tau. Saya harap saya memang bikin keputusan yang benar karena telah memilih dengan pertimbangan dan berhasil mengalahkan ego. Yang penting sadar aja sama semua pilihan yang dibuat harus siap juga sama konskuensi-konsekuensinya. Semoga apa yang akan dilakukan ini berlandaskan niat yang baik dan akan selau begitu. Konsisten sama niatnya. Semoga apa yang saya pilih sekarang bisa ngasih manfaat dan perubahan yang lebih baik untuk diri sendiri dan semoga juga bisa untuk orang lain.

Semoga.