Kata
Ibu aku cantik. Kemudian seiringnya bertambah umurku, aku tahu bahwa pernyataan
tersebut memang diucapkan seorang Ibu untuk anaknya. Aku sadar, kenyataannya
aku tidak cantik, kata yang lebih halus dan agaknya lebih pantas kugunakan
daripada kata ‘jelek’. Bukan maksud merendah agar mencari perhatian orang-orang
untuk memujiku, tapi memang itulah kenyataannya.
Kulitku lebih gelap dan lebih
kurus dari Kakak yang hanya berbeda dua tahun dariku. Bukan kurus idaman
sebagian orang, tapi lebih terlihat seperti anak penyakitan. Tolong jangan
dibayangkan, karena aku tahu bayangan kalian terhadap deskripsi hitam dan
kurus. Sering aku mendengar pujian-pujian
yang diberikan untuk kakakku dan bisa dihitung berapa kali orang-orang memujiku
yang aku yakin sekali mereka memuji hanya karena tidak enak, juga tidak jarang
aku mendengar perbandingan terhadap aku dan kakakku. Sudah seperti makanan
sehari-hari. Kalian akan tahu bagaimana rasanya kalau kalian memiliki kakak
atau adik perempuan yang di mata orang lebih baik dari kalian. Tapi aku terima
saja, karena memang itulah kenyataannya.
Kata Ibu aku cantik karena aku
memiliki bulu mata yang lentik—kakakku tidak punya. Memang benar. Tapi tidak
menutup yang kuanggap semua kekuranganku itu. Mempunyai bulu mata lentik tidak
ada artinya, tidak ada nilai lebih bagiku.
Kata Ibu aku kurang bersyukur dan
tidak percaya diri. Karena itu, aku kurang menghargai diri sendiri. Ya memang
benar. Aku terlalu sibuk mengutuk diri.
Kata Ibu aku kurang mendekatkan
diri pada Tuhan. Ya mungkin Ibu benar. Gelisah selalu membuntuti. Aku tidak
pernah tenang dengan hidup.
Kata Ibu aku cantik.
Ah, Ibu memang paling bisa
membesarkan hati putrinya.