16.2.16

                Kata Ibu aku cantik. Kemudian seiringnya bertambah umurku, aku tahu bahwa pernyataan tersebut memang diucapkan seorang Ibu untuk anaknya. Aku sadar, kenyataannya aku tidak cantik, kata yang lebih halus dan agaknya lebih pantas kugunakan daripada kata ‘jelek’. Bukan maksud merendah agar mencari perhatian orang-orang untuk memujiku, tapi memang itulah kenyataannya.

Kulitku lebih gelap dan lebih kurus dari Kakak yang hanya berbeda dua tahun dariku. Bukan kurus idaman sebagian orang, tapi lebih terlihat seperti anak penyakitan. Tolong jangan dibayangkan, karena aku tahu bayangan kalian terhadap deskripsi hitam dan kurus.  Sering aku mendengar pujian-pujian yang diberikan untuk kakakku dan bisa dihitung berapa kali orang-orang memujiku yang aku yakin sekali mereka memuji hanya karena tidak enak, juga tidak jarang aku mendengar perbandingan terhadap aku dan kakakku. Sudah seperti makanan sehari-hari. Kalian akan tahu bagaimana rasanya kalau kalian memiliki kakak atau adik perempuan yang di mata orang lebih baik dari kalian. Tapi aku terima saja, karena memang itulah kenyataannya.

Kata Ibu aku cantik karena aku memiliki bulu mata yang lentik—kakakku tidak punya. Memang benar. Tapi tidak menutup yang kuanggap semua kekuranganku itu. Mempunyai bulu mata lentik tidak ada artinya, tidak ada nilai lebih bagiku.

Kata Ibu aku kurang bersyukur dan tidak percaya diri. Karena itu, aku kurang menghargai diri sendiri. Ya memang benar. Aku terlalu sibuk mengutuk diri.

Kata Ibu aku kurang mendekatkan diri pada Tuhan. Ya mungkin Ibu benar. Gelisah selalu membuntuti. Aku tidak pernah tenang dengan hidup.

Kata Ibu aku cantik.

Ah, Ibu memang paling bisa membesarkan hati putrinya.