12.8.18

Terima Kasih Buku-buku

Sekarang saya mendapat alasan kenapa saya memang butuh membaca. Bukan lagi untuk sekadar meghibur diri dengan imajinasi-imajinasi author yang ditumpahkan dalam buku fiksi, tapi juga mencari motivasi. Karena, kalau untuk ketenangan dan harapan, saya punya Tuhan sebagai tempat persandaran. Tapi saya juga butuh alat lain untuk membantu membuka pikiran setelah ketenangan yang saya dapatkan tersebut. Dan bagi saya, buku adalah alatnya. Padahal, buku yang saya maksud di sini kebanyakan buku-buku fiksi, bukan buku self-help atau buku nonfiksi yang memang bertujuan untuk memberi motivasi. Memang dua-duanya memberi efek sih, tapi efek setelah membaca buku fiksi dan self-help yang saya dapat beda aja gitu rasanya. Mungkin saya belum menemukan buku nonfiksi yang tepat atau memang masih kurang membacanya. Dan sebenarnya tidak relevan antara buku fiksi yang saya baca dengan motivasi yang didapat setelah membacanya.

Contohnya, setelah membaca Laut Bercerita, saya mendapat dorongan untuk kembali pada tujuan saya. Padahal novelnya bercerita tentang mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi saat rezim Soeharto berlangsung yang tentu saja semangat yang saya dapat setelah baca novel ini bukan semangat untuk melawan juga. Tapi di novel kita sering mendapat nggak hanya inti ceritanya. Ada pesan-pesan lain, yang bukan tujuan sebenarnya dari penulis untuk disampaikan kepada pembaca. Dari situ lah saya menemukan dorongan-dorongan baik untuk diri sendiri.

Setelah membaca salah satu novel, saya rasanya tersadar kembali setelah sebelum-sebelumnya merasa akhir-akhir ini ‘hilang arah’. Terlalu banyak memikirkan hal-hal yang mengganggu mental sendiri.  Terlalu membanding-bandingkan hidup saya dengan orang lain. Terlalu merendahkan diri sendiri. Saya lupa kalau kita punya cita-cita masing-masing. Bahwa kita, yang ada di bumi ini, nggak mungkin semuanya punya cita-cita yang sama. Kita punya misi masing-masing dan punya cara kita sendiri untuk mewujudkannya. Saya terlalu fokus memikirkan hal-hal yang membuang-buang waktu saya. Bertanya-tanya, kenapa saya nggak bisa seperti dia, padahal sudah jelas orang yang saya bandingkan tersebut, beda interestnya sama saya. Padahal, waktu yang saya pakai untuk memikirkan hal-hal tidak penting tersebut sebenarnya bisa saya gunakan untuk menekuni hal-hal yang saya senangi, yang jauh lebih bermanfaat. Saya lupa, pencapaian seseorang yang nggak sama dengan tujuan saya, harusnya cukup dijadikan motivasi. Motivasi untuk saya bergerak mencapai tujuan saya sendiri. Bukan harus sama seperti mereka. Kadang saya terlalu banyak mikirin kata-kata orang. Terlalu banyak mikir dan bertanya-tanya pada diri sendiri apa yang saya lakukan akan memenuhi standar orang-orang tersebut atau nggak. Terlalu banyak mikir sampai-sampai nggak ada waktu buat aksinya.  Padahal, standar-standar yang diciptakan sama orang-orang ini entah apa dasarnya. Standar-standar tersebut  nggak mutlak harus dipenuhi, karena yang menciptakan juga bukan dewa-dewa yang ahli pada bidangnya. Saya juga lupa kalau diri kita sendiri lah nahkodanya. Orang lain kadang hanya mengingatkan (ada yang benar-benar mengingatkan dan tentu saja ada yang sekadar nyinyir) atau memberi saran. Kita lah yang menentukan sepenuhnya. Kalau merasa apa yang kita lakukan sudah dengan landasan yang benar dan tidak merugikan orang lain, ya go on.

Lalu, mengutip beberapa istilah dari salah satu novel, mungkin saya terlalu senang merendahkan diri sendiri karena tujuan saya tergolong intangible ini hanya akan mendapat apresiasi konkret kalau menjalankannya dengan konsistensi, dan tentu saja ketulusan hati. Kalau saya mikir tentang apresiasi yang saya sebutkan tadi sebenarnya cukup jelas kenapa akhir-akhir ini saya merasa ‘kosong’ menjalankan semua yang berhubungan dengan cita-cita saya. Saya belum menjalankan semuanya dengan sepenuh hati. Saya mungkin banyak berharap untuk diri sendir dan pada akhirnya malah kecewa karena tidak sesuai ekspetasi. Niat saya melenceng—yang memang harus dibenerin lagi niatnya-.
Memang, cita-cita yang tergolong tangible lebih jelas terlihat oleh orang-orang. Biasanya ada bentuk ‘nyata’ dari prosesnya.

Nggak ada yang salah sebenarnya dari cita-cita baik yang intangible maupun tangible. Kalau niatnya sama-sama baik ya sama aja, tujuannya sama-sama bermanfaat cuma caranya aja yang beda. Saya harap, apa pun cita-cita saya, saya tetap menjalankannya dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Sudah cukup lah membanding-bandingkan diri dengan orang lain, mendengar kata-kata negatif orang lain, kata-kata yang harusnya nggak usah dimasukkan ke hati, dan semua yang bisa menghambat saya melakukan sesuatu. Kalau saya tidak ingin terus-terusan merendahkan diri sendiri, stop whining, keep willing, and do something! Semoga saya selalu punya semangat untuk meraih cita-cita saya. Dan juga kalian semua, para pemimpi. Saya sebenarnya yakin, dalam mengejar cita, kita nggak sendiri. Banyak orang dan hal lain yang ikut berpartisipasi.

Saya juga berharap saya lebih bisa menghabiskan banyak buku. Nggak cuma fiksi, tapi juga buku-buku lain yang bisa membuka pikiran saya, membuat saya ingin menggali hal lain. Semoga.

Saya tau ini tulisan ngawur. Mungkin nggak jelas maksud dan tujuannya. Awalnya memang tulisan ini dimaksudkan sebagai postingan di blog Terima Kasih ala Gina (malah nggak jadi blognya dan akhirnya tetep dipost ke sini) yang edisi kali ini ditujukan untuk buku-buku, tapi masih berantakan. Tapi saya lega sudah menulis ini. Merasa ada beban yang terangkat dari diri saya.

Terima kasih pada buku-buku, yang secara nggak langsung menyuntikkan semangat untuk kembali melanjutkan cita-cita saya yang sempat ditinggalkan.


4.6.18

Mencari (lagi)


Mencari kembali
Yang sudah menyatu dengan kalbu
Dan Menjadi abu-abu
Bukan tidak mungkin ada warna baru
Tinggal menggambar wajah ibu biar tidak selalu sendu

Kemana diri yang mencintai mimpi?
Pilihan dengan segala konsekuensi selalu sedia
Asa sempat terlupa
Tapi waktu selalu ada untuk kita yang mempunyai cita.


Dan kepada Tuhan sepenuhnya aku berserah 

18.2.18

[book] Tanah Surga Merah by Arafat Nur


By the way I prefer calling it 'Talking about a book' instead of reviewing a book since I don't know how to review books properly :p and besides, all I want to do is just write what I feel after reading book. So when I give 2 stars to a book, it doesn't mean the book is bad but it's because I didn't enjoy reading the book and it also works if I give 5 stars it doesn't mean the book is THAT AMAZING (but it can be tho).

.
.

Bercerita tentang seorang pria mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka atau GAM yang menjadi buronan 'kalangannya' sendiri dan polisi karena melakukan tindakan yang dianggap kriminal (bagi mereka) terhadap salah satu rekannya sendiri. Padahal, alasan Murad--nama pria tersebut- adalah untuk membela apa yang dianggapnya benar karena justru rekannya tersebutlah yang melakukan tindakan asusila. Namun, sayangnya, tindakan Murad tersebut tidak diterima oleh kelompoknya. Semenjak kejadian tersebut, Murad terus diincar. 
Merasa tidak aman, akhirnya ia terpaksa angkat kaki dari tanah kelahirannya. Berpindah-pindah demi keamanan nyawanya. Hingga beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk kembali ke Aceh dengan mengubah penampilannya terlebih dahulu dan berharap setibanya di sana, tidak ada yang mengenali dirinya, terutama orang-orang yang mengincarnya. 
Murad merasa perlu kembali ke tanah kelahirannya meski harus diteror terus-menerus.

Sesampainya di Aceh pun ia harus tetap hidup nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain guna melindungi diri sendiri dan orang-orang yang rumahnya ia singgahi dan tinggali.

Selama di Aceh, banyak kejadian-kejadian yang malah semakin memperburuk keadaan dan keberadaan Murad semakin tercium. Mereka yang mencari Murad semakin gencar memburunya. Sampai pada akhirnya Murad harus menetap lumayan lama di sebuah desa yang dianggap aman, namun sekaligus desa yang aneh. 

.
.

Awalnya saya hanya penasaran dengan Arafat Nur, penulis asal Aceh. Yah, saya senang aja gitu bisa membaca karya orang Aceh yang menang di Khatulistiwa Literary Award. 
Sebenarnya, Lampuki adalah novelnya yang sangat ingin saya baca. Di Goodreads pun reviewnya sangat bagus apalagi dibanding Tanah Surga Merah ini. Saya masukkan Lampuki ke daftar to-be-read saya bahkan juga ke wishlist di akun toko buku online. Tapi, karena list saya banyak banget, saya belum berkesempatan untuk baca buku itu sampai pada akhirnya stok buku Lampuki kosong di mana-mana.
Saya coba tanya langsung ke penulisnya via twitter, ternyata memang kosong dan belum dicetak ulang. Katanya baru berencana akan dicetak kembali yang saya tidak tahu kapan. Daripada terus menunggu Lampuki tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk membaca terlebih dahulu Tanah Surga Merah.

Jujur, untuk saya yang sangat penasaran dengan tulisannya Arafat Nur, buku ini sedikit meleset dari ekspetasi saya. Menurut saya, serunya novel ini baru bener-bener saya dapatkan di beberapa halaman terakhir, saat menuju akhir cerita. Tapi, endingnya juga malah gantung. Seperti ada yang belum terselesaikan. Apalagi kalau mengaitkan dengan halaman-halaman awal. Tujuan dari Murad ini sebenarnya apa? Apa kisah Murad ini memang ada lanjutannya? Atau memang sengaja dibikin seperti ini? 

Tapi, selain keluhan saya di atas, saya senang-senang aja sih sama bukunya. Latar waktu di novel ini, yaitu menjelang pilkada, benar-benar menggambarkan keadaan Aceh pada saat itu. Saya tahu benar beberapa objek di novel ini yang telah dibalut oleh fiksi karena saya juga tinggal di Aceh dan pada waktu itu juga saya terbilang sudah mengerti keadaan di Aceh.
Sindiran dan kritikan terhadap beberapa objek tersampaikan dengan baik! Lanjutkan, Bang. Kekesalan saya (dan saya yakin juga beberapa orang lainnya) terhadap objek (yang dengan sok-taunya saya anggap memang benar sama *gimana gimana???*) telah diwakilkan oleh novel ini. 

Saya berharap novel Lampuki segera dicetak ulang dan saya jauh lebih bisa menikmatinya mengingat review orang-orang juga lebih bagus dari Tanah Surga Merah ini (yah sebenarnya selera sih). Tapi, rasa penasaran saya untuk membaca Lampuki bukan semata-mata karena review orang ya. Pokoknya, intinya saya sangat sangat ingin baca buku tersebut. Biar triggered juga untuk memahami sejarah tanah kelahiran sendiri :) Karena biasanya untuk mendorong diri sendiri mengeksplor lebih dalam, saya mulai dari fiksi. Dan semoga memang benar jauh lebih bagus Tanah Surga Merah.

15.2.18

2018: Menghidupkan Kembali

Minggu kedua di bulan kedua di tahun 2018.

Postingan pertama.

Tiba-tiba pengen aja gitu bikin kilas balik apa yang udah terjadi di 2017 karena tadi abis baca-baca kind-of-diary tulisan, ternyata lucu juga ya nulis-nulis ala diary terus beberapa lama kemudian dibaca ulang. Jadi pengen nulis diary lagi di 2018 hehe. Mungkin bakal saya sebut jurnal kali ya biar terdengar sedikit lebih baik dari diary.

Untuk saya pribadi, setelah menulis jurnal dan apa yang saya rasain itu kayak ada beban yang sedikit berkurang. Lebih lega. Dan semacam jadi pengingat karena biasanya apa yang saya tulis itu berisi alasan-alasan saya kenapa saya ngelakuin ini, ngelakuin itu, memutuskan untuk memilih ini, dan sejenisnya.

Contohnya, setelah masuk PTN, saya bukannya malah banyak bersyukur, tapi malah banyak ngeluh. Ngerasa salah jurusan. Padahal itu pilihan saya sendiri. Terus saya ingat, saya pernah nulis di jurnal saya tentang kenapa saya milih jurusan ini. Sewaktu saya baca ulang, kayak motivasi-motivasi itu muncul lagi dan berhasil membuat saya kembali ke jalan yang benar lol.

Dan memang nggak nyambung sama pembukanya, di postingan pertama ini saya pengen nulis pencapaian-pencapaian kecil yang berhasil saya lakukan dan sebuah pencapaian yang (agak) besar, at least.



1. Become a morning person


Ini pencapaian! Waktu SMP, susah banget yang namanya bangun pagi (kecuali kalo sekolah). Kalo udah libur, tidurnya nggak ingat waktu karena memang hobi begadang juga waktu itu. Bangun pagi kalo udah dimarahin Ibu. Dibawelin mulu pokoknya tentang bangun pagi. Pokoknya agak susah bangun pagi tanpa harus ngerasa ngantuk lagi dan ini bertahan sampe SMA. But thanks to my mom yang selalu bawelin saya tentang pentingnya bangun pagi! Sejak libur kelulusan SMA kan di rumah terus, jadi selalu dipaksa bangun pagi. Memang agak susah sih ngejadiin itu sebuah habit, tapi waktu memulai waktu gap year saya, saya berhasil menjadi morning person sampe akhirnya memulai waktu perkuliahan yay.

2. Lebih menjaga makan

Meskipun pada saat menulis ini, saya kembali ke pola makan nggak sehat kayak dulu:( Makan suka ngga mikir lagi. Asli, karena sempat menerapkan pola makan yang (agak) sehat, ini kerasa banget ga enak badannya huhu. Mana ngga olahraga. Tapi, seminggu setelah menulis ini saya udah bertekad untuk makan (agak) sehat lagi. Semoga bukan hanya wacana.

3. Being more organized!

Kalau kenal saya dari dulu pasti deh tau kalo saya anaknya berantakan banget. Semuanya suka-suka saya. Kamar ngga pernah beres. Jadwal ini itu berantakan. Acak-acakan banget. Tapi, sekarang jadi seneng ngerapihin ini itu, bikin jadwal yang teratur; dari jadwal tidur, jadwal belajar, jadwal makan. Terus bikin upcoming schedule gitu dan bikin to-do-list. Dan alhamdulillahnya, saya sering bener-bener ngelaksanain apa yang udah saya tulis itu walaupun sekali dua kali juga ada yang ga jadi dikerjain. But, it's a nice progress.



4. Lulus SBMPTN


Akhirnya saya jadi mahasiswa baru di salah satu PTN hehe dan satu semester telah berlalu. Walaupun bukan pilihan pertama, tapi sedang mencoba bersyukur karena masih diterima di jurusan yang diinginkan dan sedang mencoba melihat hal dari sisi positifnya.

Kalau mengenai resolusi di tahun 2018 itu banyak banget! Dan kayaknya nggak bakal ditulis di sini. Apalagi resolusi-resolusinya kebanyakan memang lebih layak buat ditulis di jurnal pribadi aja hehe. Tapi, untuk sekarang pengen rajin nulis dan menghidupkan kembali blog saya. Menulis dengan hati. Jadi, maksudnya tetep nulis tanpa mengharap ada yang baca. Dan sekarang blogwalking kan emang jarang banget yah dibanding dulu....jadi ya nulis aja. Menulis karena memang ingin menulis. Pokoknya, kalau untuk blog nulis apa aja deh. Random kayak dulu. Entah buku favorit, film, kegiatan kuliah, curhat gajelas, dan apa aja yang bisa diceritakan. Rencana bulan Maret, saya pengen ngepost tiap hari dengan hasthtag ala ala #MaretBercerita (kayak Laut Bercerita yak)

Ya semoga nggak cuma wacana.

Dan semoga resolusi-resolusi di 2018 bisa terealisasikan.

Semoga di 2018 bisa menjadi lebih baik lagi.