Sekarang saya mendapat alasan kenapa saya memang butuh
membaca. Bukan lagi untuk sekadar meghibur diri dengan imajinasi-imajinasi
author yang ditumpahkan dalam buku fiksi, tapi juga mencari motivasi. Karena,
kalau untuk ketenangan dan harapan, saya punya Tuhan sebagai tempat
persandaran. Tapi saya juga butuh alat lain untuk membantu membuka pikiran
setelah ketenangan yang saya dapatkan tersebut. Dan bagi saya, buku adalah
alatnya. Padahal, buku yang saya maksud di sini kebanyakan buku-buku fiksi,
bukan buku self-help atau buku
nonfiksi yang memang bertujuan untuk memberi motivasi. Memang dua-duanya
memberi efek sih, tapi efek setelah membaca buku fiksi dan self-help yang saya dapat beda aja gitu rasanya. Mungkin saya belum
menemukan buku nonfiksi yang tepat atau memang masih kurang membacanya. Dan
sebenarnya tidak relevan antara buku fiksi yang saya baca dengan motivasi yang
didapat setelah membacanya.
Contohnya, setelah membaca Laut Bercerita, saya
mendapat dorongan untuk kembali pada tujuan saya. Padahal novelnya bercerita
tentang mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi saat rezim Soeharto berlangsung
yang tentu saja semangat yang saya dapat setelah baca novel ini bukan semangat
untuk melawan juga. Tapi di novel kita sering mendapat nggak hanya inti ceritanya.
Ada pesan-pesan lain, yang bukan tujuan sebenarnya dari penulis untuk
disampaikan kepada pembaca. Dari situ lah saya menemukan dorongan-dorongan baik
untuk diri sendiri.
Setelah membaca salah satu novel, saya rasanya
tersadar kembali setelah sebelum-sebelumnya merasa akhir-akhir ini ‘hilang
arah’. Terlalu banyak memikirkan hal-hal yang mengganggu mental sendiri. Terlalu membanding-bandingkan hidup saya
dengan orang lain. Terlalu merendahkan diri sendiri. Saya lupa kalau kita punya
cita-cita masing-masing. Bahwa kita, yang ada di bumi ini, nggak mungkin
semuanya punya cita-cita yang sama. Kita punya misi masing-masing dan punya
cara kita sendiri untuk mewujudkannya. Saya terlalu fokus memikirkan hal-hal
yang membuang-buang waktu saya. Bertanya-tanya, kenapa saya nggak bisa seperti
dia, padahal sudah jelas orang yang saya bandingkan tersebut, beda interestnya
sama saya. Padahal, waktu yang saya pakai untuk memikirkan hal-hal tidak
penting tersebut sebenarnya bisa saya gunakan untuk menekuni hal-hal yang saya
senangi, yang jauh lebih bermanfaat. Saya lupa, pencapaian seseorang yang nggak
sama dengan tujuan saya, harusnya cukup dijadikan motivasi. Motivasi untuk saya
bergerak mencapai tujuan saya sendiri. Bukan harus sama seperti mereka. Kadang
saya terlalu banyak mikirin kata-kata orang. Terlalu banyak mikir dan
bertanya-tanya pada diri sendiri apa yang saya lakukan akan memenuhi standar
orang-orang tersebut atau nggak. Terlalu banyak mikir sampai-sampai nggak ada
waktu buat aksinya. Padahal, standar-standar
yang diciptakan sama orang-orang ini entah apa dasarnya. Standar-standar
tersebut nggak mutlak harus dipenuhi,
karena yang menciptakan juga bukan dewa-dewa yang ahli pada bidangnya. Saya
juga lupa kalau diri kita sendiri lah nahkodanya. Orang lain kadang hanya
mengingatkan (ada yang benar-benar mengingatkan dan tentu saja ada yang sekadar
nyinyir) atau memberi saran. Kita lah yang menentukan sepenuhnya. Kalau merasa
apa yang kita lakukan sudah dengan landasan yang benar dan tidak merugikan orang
lain, ya go on.
Lalu, mengutip beberapa istilah dari salah satu novel,
mungkin saya terlalu senang merendahkan diri sendiri karena tujuan saya
tergolong intangible ini hanya akan
mendapat apresiasi konkret kalau menjalankannya dengan konsistensi, dan tentu
saja ketulusan hati. Kalau saya mikir tentang apresiasi yang saya sebutkan tadi
sebenarnya cukup jelas kenapa akhir-akhir ini saya merasa ‘kosong’ menjalankan
semua yang berhubungan dengan cita-cita saya. Saya belum menjalankan semuanya
dengan sepenuh hati. Saya mungkin banyak berharap untuk diri sendir dan pada
akhirnya malah kecewa karena tidak sesuai ekspetasi. Niat saya melenceng—yang
memang harus dibenerin lagi niatnya-.
Memang, cita-cita yang tergolong tangible lebih jelas terlihat oleh orang-orang. Biasanya ada bentuk
‘nyata’ dari prosesnya.
Nggak ada yang salah sebenarnya dari cita-cita baik
yang intangible maupun tangible. Kalau niatnya sama-sama baik ya sama aja,
tujuannya sama-sama bermanfaat cuma caranya aja yang beda. Saya harap, apa pun cita-cita saya, saya tetap
menjalankannya dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Sudah cukup lah membanding-bandingkan
diri dengan orang lain, mendengar kata-kata negatif orang lain, kata-kata yang
harusnya nggak usah dimasukkan ke hati, dan semua yang bisa menghambat saya
melakukan sesuatu. Kalau saya tidak ingin terus-terusan merendahkan diri
sendiri, stop whining, keep willing, and
do something! Semoga saya selalu punya semangat untuk meraih cita-cita
saya. Dan juga kalian semua, para pemimpi. Saya sebenarnya yakin, dalam mengejar
cita, kita nggak sendiri. Banyak orang dan hal lain yang ikut berpartisipasi.
Saya juga berharap saya lebih bisa menghabiskan banyak
buku. Nggak cuma fiksi, tapi juga buku-buku lain yang bisa membuka pikiran
saya, membuat saya ingin menggali hal lain. Semoga.
Saya tau ini tulisan ngawur. Mungkin nggak jelas
maksud dan tujuannya. Awalnya memang tulisan ini dimaksudkan sebagai postingan
di blog Terima Kasih ala Gina (malah nggak jadi blognya dan akhirnya tetep dipost ke sini) yang edisi kali ini ditujukan untuk buku-buku,
tapi masih berantakan. Tapi saya lega sudah menulis ini. Merasa ada beban yang
terangkat dari diri saya.
Terima kasih pada buku-buku, yang secara nggak
langsung menyuntikkan semangat untuk kembali melanjutkan cita-cita saya yang
sempat ditinggalkan.