Harusnya buku
ini bisa saya habiskan dalam beberapa hari saja atau mungkin bisa satu hari
kalau saya memang meluangkan waktu tanpa melakukan hal lain dan hanya membaca
buku ini. Tapi, untuk kali ini dan beberapa waktu ke depan, saya merasa
bersalah kalau membaca buku lain selain materi SBMPTN L
Padahal, kalau nggak membaca novel dan buku-buku yang tidak berhubungan dengan
SBMPTN juga belum tentu saya mengerahkan waktu saya seluruhnya untuk belajar
sih. Cuma merasa bersalah aja gitu, ngerti kan ya.
Saya nggak hitung berapa hari yang saya
butuhkan untuk akhirnya menyelesaikan membaca ini. Kenapa saya bilang harusnya
bisa lebih cepat menghabiskan novel ini? Karena halamannya relatif tipis dan
bahasanya alhamdulillah nggak bikin pusing walaupun terjemahan (karena biasanya
saya selalu ngeluh tentang buku terjemahan)
Okay lanjut ke bukunya.
spoiler!alert!
Novel yang ditulis oleh Nawal El –
Saadawi, seorang dokter berkebangsaan Mesir, adalah novel yang didasari oleh
kisah nyata seorang perempuan bernama Firdaus. Saadawi bertemu dengannya ketika
mengunjungi penjara wantia setelah sebelumnya seorang dokter yang bekerja di
sana menceritakan kasus Firdaus yang mendapat hukuman gantung karena telah
membunuh seorang germo. Hal ini—tentang perempuan yang membunuh—adalah hal yang
baru bagi Saadawi karena itu ia tertarik dengan kasus yang satu ini dan ia
minta dipertemukan dengan Firdaus. Awalnya Firdaus tidak menerima kunjungan
Saadawi karena ia memang menolak semua kunjungan. Namun, pada akhirnya ia
menerima Saadawi ke dalam selnya. Firdaus menceritakan kisahnya yang mengerikan
sekaligus menakjubkan bagi Saadawi.
Dalam buku ini, dikisahkan bagaimana
Firdaus, sebagai salah satu perempuan di Mesir, yang hanya dijadikan budak seks
dan pemuas birahi bagi para lelaki. Hal ini bahkan sudah ia lalui sejak kecil
dan dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, pamannya sendiri salah satunya. Apa
yang dilakukan oleh ayah, paman, suami,
temannya, dan semua laki-laki yang telah memperlakukannya dengan hina
dan rendah, telah mengajarinya tumbuh dewasa menjadi pelacur.
Sering laki-laki mengajak menikah dengan
alasan bahwa mereka akan melindungi perempuan. Tapi pada kenyataannya, setelah
memperistri perempuan mereka akan menjadi lebih liar karena status yang berubah
sudah menjadi suami. Tidak perlu membayar. Istri lebih bebas diperlakukan
semena-mena oleh mereka. Mirisnya mereka sering membawa Islam untuk membenarkan
perilaku mereka. Padahal, sungguh, Islam tidak kejam seperti itu. Mereka hanya
menggunkan Islam untuk menjadi pembelaan atas perbuatan mereka.
Firdaus tidak berdaya melakukan
perlawanan. Ada ketakutan yang membalutinya
juga ia takut karena ia adalah perempuan. Seolah perempuan di dunia ini
diciptakan hanya untuk tunduk kepada laki-laki yang bahkan bukan siapa-siapanya.
Tapi perempuan takut kepada mereka hanya karena gender laki-laki yang disandang
oleh mereka. Firdaus sudah berkali-kali mencoba ‘membebaskan diri’ tapi
hasilnya nihil. Kemana pun ia pergi, ia pasti akan menemukan laki-laki yang
akan memperlakukannya seperti sebelum-sebelumnya. Melawan hanya akan menurunkan
tangan mereka yang ringan untuk mendarat kasar dengan pukulan-pukulan mereka.
Namun, setelah bertahun-tahun menjadi
korban pelecehan seksual tersebut, untuk kali pertama ia akhirnya berani
melayangkan tangannya pada seorang germo yang telah merampas hak tubuh dan hak
hidupnya. Sebelumnya, saat pertama kali bertemu dengan germo yang bernama
Marzouk ini, Firdaus sudah pernah
mencoba menghindari ancaman yang pernah diberikan oleh Marzouk dengan mencoba
melaporkannya kepada polisi. Tapi lucunya, germo tersebut memiliki perlindungan
hukum. Alih-alih mengadu ke kepolisian untuk mencari perlindungan, malah yang
melapor akan ditangkap.
Setelah menghantam Marzouk, Firdaus bahkan
membunuh germo tersebut. Baru ia sadar, sejak pertama kali melayangkan hantaman
itu, ketakutan yang ia rasakan selama ini untuk melawan itu ikut luruh. Hal
tersebut ternyata tidak sesulit yang ia bayangkan. Setelah melakukan pembunuhan
itu ia sama sekali tidak merasa takut. Firdaus merasa benar atas tindakan yang
dilakukannya. Menurutnya, yang ia lakukan bukanlah sebuah kejahatan. Ia hanya
membunuh seorang penjahat.
Tentu Firdaus ditangkap setelah kejadian
tersebut dilaporkan. Tapi bukan pembunuhan tersebut yang sebenarnya menjadi
alasan penangkapan terhadap Firdaus. Melainkan ketakutan mereka—orang-orang
yang menangkap Firdaus—untuk membiarkan Firdaus menyuarakan kebenaran jika ia
dibiarkan hidup.
“Hidup
saya berarti kematian mereka. Kematian saya berarti hidup mereka. Mereka ingin
hidup. Dan hidup bagi mereka berarti semakin banyak kejahatan, semakin banyak
perampokan, perampasan yang tak terbatas.”
Alih-alih merasa gelisah diberi hukuman
gantung, Firdaus merasa senang menunggu kematiannya. Ia bahkan menolak tawaran mengajukan
surat permohonan kepada presiden dan meminta maaf agar hukuman gantung tersebut
dibatalkan. Dia merasa senang akan mati karena ia telah melakukan hal yang
benar.
“Dan untuk sampai kepada kebenaran
berarti bahwa seseorang tidak lagi merasa takut mati. Karena kematian dan
kebenaran adalah sama dalam hal bahwa keduanya mensyaratkan keberanian yang
besar bila seorang ingin menghadapi mereka.”
Seperti kata Firdaus, ia tidak membunuh
dengan pisau, ia membunuh dengan kebenaran. Kebenaran yang ditakuti oleh
mereka. Kebenaran mematikan rasa takut mati.
Saya tidak suka melabeli diri saya,
apalagi dalam hal ideologi yang dianut. Karena sebenarnya saya tidak mengetahui
apa-apa. Apa yang keluar dari mulut saya hanya ke-soktahu-an saya. Tentang
ideologi tadi saja saya nggak sepenuhnya paham apa yang saya omongi hehehehe.
Memalukan rasanya kalau saya mengklaim diri saya untuk suatu paham atau hal
tertentu. Apalagi kalau saya coba-coba melabeli diri saya seorang feminist? Mungkin
kalian akan tertawa. Mengingat saya sendiri tidak begitu paham hal tersebut
Buku ini saya rekomendasikan untuk yang
ingin membaca buku tentang kesetaraan gender (terutama perempuan untuk buku
ini) Buku yang mengajak kita untuk tidak berpikir bahwa perempuan hanya
dijadikan objek pemenuh ego dan kepuasan laki-laki.
Baik perempuan ataupun laki-laki, sila
baca buku ini untuk ikut menggerakkan keadilan dan membantu perempuan
memperoleh kesetaraan. Karena seperti Mochtar Lubis, katakan di pengantarnya,
walaupun itu udah sekitar tiga puluhan
tahun yang lalu, kita yang hidupnya terbilang beruntung ini lupa pada
kenyataannya masih banyak perempuan di Indonesia yang belum diperlakukan dengan
layak, baik itu oleh suami atau bahkan yang bukan ‘siapa-siapa’. Dan untuk
perempuannya sendiri, juga banyak yang belum sadar atas ketidakadilan tersebut,
belum sadar akan haknya.
Omong-omong, dalam rangka menyelesaikan
tugas sekolah sekitar dua tahun yang lalu, saya dan teman-teman sekolah saya, berkesempatan
untuk mendatangi langsung ke salah satu lembaga yang bersangkutan mengatasi
kasus pelanggaran hak terhadap wanita, saya jadi benar-benar tau bahwa emang
masih ada perempuan-perempuan yang belum sepenuhnya mendapatkan hak mereka.
Pengantar yang disampaikan oleh Mochtar
Lubis juga membuat saya nggak sabar buat mulai membaca buku ini (berhubung yang
dibaca adalah buku terjemahan) karena mungkin ada yang tidak terlalu suka
membaca buku terjemahan (seperti saya) tapi untuk buku ini, bahasa
terjemahannya enak dibaca!
Udah ah.
Saya pribadi baca ini sebenarnya karena
reviewnya bagus.