“Jangan nangis.”
Berhubung
aku tidak tahu bagaimana mengatasi orang yang sedang menangis, jadi hanya itu
yang bisa aku katakan sambil menepuk pelan pundaknya. Tapi kemudian aku
teringat sapu tangan satu-satunya yang Ibu berikan dulu padaku saat aku sedang mengepak
baju dan barang-barang. Untung saja sapu tangan itu aku selipkan di ranselku
sehingga aku tidak perlu repot-repot membuka koper.
Aku
menyodorkan sapu tangan itu pada Rista walaupun itu satu-satunya sapu tangan
yang aku punya saat ini. Tapi tak apa lah,
akan aku berikan semua yang Rista butuhkan. Toh nanti aku masih bisa membeli
yang baru.
“Terima
kasih,” ucapnya lirih dengan sisa-sisa isakan tangis.
Hampir
setengah jam Rista menangis sejak kami sampai di stasiun. Begitu tiba-tiba, aku
sendiri kaget dibuatnya karena selama tiga tahun aku mengenal Rista, ini kali
pertama aku melihat Rista menangis. Jadi aku tidak tahu apa yang harus aku
lakukan ketika Rista menangis. Belum berpengalaman untuk hal yang satu ini. Ragu
untuk merangkulnya, aku merasa canggung. Aku jadi bingung dan tiba-tiba aku
merasaa berubah menjadi orang lain. Suasana dan kondisi seperti ini tidak
pernah aku rasakan sebelumnya. Pokoknya ini aneh.
Hening.
Setelah
Rista benar-benar tidak mengeluarkan air mata dan napasnya juga sudah lebih
teratur, tidak ada satu kata pun yang terucapkan. Menanyakan kenapa dia
menangis hanya membuat aku terlihat bodoh dan aku tidak mau terlihat bodoh di
depan Rista. Jadi, aku memilih untuk diam dan membiarkan Rista saja yang mulai.
Alih-alih
memulai pembicaraan, Rista merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan sesuatu.
Sapu
tangan.
“Loh?”
Hanya satu kata tidak penting yang keluar begitu dari mulutku.
“Sebenarnya
aku bawa sapu tangan, kok. Maaf jadi mengotori sapu tanganmu. Aku nggak mungkin
mengembalikannya sekarang kan?”
Tak
masalah, Rista! Nanti kapan aku mau akan kucuci.
Eh,
tapi untukmu saja, aku senang ada barangku yang tinggal padamu.
“Jadi
sebagai gantinya, kamu bawa punyaku aja ya.”
Rista
memberi sapu tangannya padaku dan tanpa ada basa-basi ingin menolak, langsung
kuterima sapu tangan hijau milik Rista. Lucu sekali, kami jadi seperti sedang
bermain tukar-tukaran hadiah dengan tema sapu tangan. Aku senang dan ternyata
tidak perlu membeli yang baru.
Kereta
baru saja sampai dan aku harus segera masuk ke gerbong. Rista ikut mengantarku
sampai ke gerbong Padahal baru saja aku ingin memulai pembicaraan, tapi
kemudian terdengar announcement tentang
keberangkatanku..
Kali
ini Rista tidak menangis tapi aku tidak bohong kalau matanya berkaca-kaca. Ah,
aku jadi sedih dan baru sadar harus berpisah sama Rista. Ceritaku di kota ini
sudah selesai dan harus kembali ke kampung halaman, mempersiapkan segalanya
untuk studiku di kota lain lagi.
Saat
kereta benar-benar akan berangkat, Rista turun. Sebelumnya kami sempat
bersalaman untuk terakhir kalinya. Ia juga menyampaikan beberapa kata yang
hanya kubalas dengan anggukan.
“Hati-hati.”
“Jangan
lupa padaku.”
“Kita ngga tau kapan kamu ke sini lagi dan
kapan kita akan bertemu lagi.”
“Wish
you luck. “
“Jangan
lupa kabar-kabari aku ya kalau mau ke sini.”
“Bakal
kangen!”
Dan benar, semua yang dikatakan Rista hanya aku balas dengan anggukan, seperti ketika aku
akan berangkat meninggalkan Ibu juga Bapak kemudian mendengar pesan-pesan
mereka. Bahkan ucapan terima kasih saja tidak keluar. Maaf Rista, karena aku
ternyata terlalu sedih mengingat bahwa ke depan dan seterusnya tidak ada lagi
makan Soto Banjar bersama di kantin sekolah, belajar fisika bersama ibumu saat
menjelang ulangan harian juga ujian kenaikan kelas, dan karate setiap sabtu
sore. Kalau pun kita ketemu lagi, tidak ada yang seperti ini.
Ah,
ternyata sedih juga.
“It’s really a long high school journey!
Semoga kita bertemu lagi. Selamat jalan.”
Itu
kata-kata terakhir Rista sebelum dia turun.
Kereta
mulai berjalan pelan meninggalkan kota kecil penuh cerita. Perlahan pemandangan
keramaian stasiun berganti dengan keramaian kota yang akan ditinggalkan
kemudian disambut bentangan sawah-sawah yang masih hijau baru ditanami.
Semua
mendadak melankolis.
Nah,
sekarang giliranku yang menangis.
Cengeng.
cengeng
ReplyDelete