25.5.16

Sapu Tangan

            “Jangan nangis.”

Berhubung aku tidak tahu bagaimana mengatasi orang yang sedang menangis, jadi hanya itu yang bisa aku katakan sambil menepuk pelan pundaknya. Tapi kemudian aku teringat sapu tangan  satu-satunya yang Ibu berikan dulu padaku saat aku sedang mengepak baju dan barang-barang. Untung saja sapu tangan itu aku selipkan di ranselku sehingga aku tidak perlu repot-repot membuka koper.

Aku menyodorkan sapu tangan itu pada Rista walaupun itu satu-satunya sapu tangan yang aku punya saat ini.  Tapi tak apa lah, akan aku berikan semua yang Rista butuhkan. Toh nanti aku masih bisa membeli yang baru.

“Terima kasih,” ucapnya lirih dengan sisa-sisa isakan tangis.


Hampir setengah jam Rista menangis sejak kami sampai di stasiun. Begitu tiba-tiba, aku sendiri kaget dibuatnya karena selama tiga tahun aku mengenal Rista, ini kali pertama aku melihat Rista menangis. Jadi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan ketika Rista menangis. Belum berpengalaman untuk hal yang satu ini. Ragu untuk merangkulnya, aku merasa canggung. Aku jadi bingung dan tiba-tiba aku merasaa berubah menjadi orang lain. Suasana dan kondisi seperti ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Pokoknya ini aneh.

Hening.

Setelah Rista benar-benar tidak mengeluarkan air mata dan napasnya juga sudah lebih teratur, tidak ada satu kata pun yang terucapkan. Menanyakan kenapa dia menangis hanya membuat aku terlihat bodoh dan aku tidak mau terlihat bodoh di depan Rista. Jadi, aku memilih untuk diam dan membiarkan Rista saja yang mulai.

Alih-alih memulai pembicaraan, Rista merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan sesuatu.

Sapu tangan.

“Loh?” Hanya satu kata tidak penting yang keluar begitu dari mulutku.

“Sebenarnya aku bawa sapu tangan, kok. Maaf jadi mengotori sapu tanganmu. Aku nggak mungkin mengembalikannya sekarang kan?”

Tak masalah, Rista! Nanti kapan aku mau akan kucuci.

Eh, tapi untukmu saja, aku senang ada barangku yang tinggal padamu.

“Jadi sebagai gantinya, kamu bawa punyaku aja ya.”

Rista memberi sapu tangannya padaku dan tanpa ada basa-basi ingin menolak, langsung kuterima sapu tangan hijau milik Rista. Lucu sekali, kami jadi seperti sedang bermain tukar-tukaran hadiah dengan tema sapu tangan. Aku senang dan ternyata tidak perlu membeli yang baru.

Kereta baru saja sampai dan aku harus segera masuk ke gerbong. Rista ikut mengantarku sampai ke gerbong Padahal baru saja aku ingin memulai pembicaraan, tapi kemudian terdengar announcement tentang keberangkatanku..

Kali ini Rista tidak menangis tapi aku tidak bohong kalau matanya berkaca-kaca. Ah, aku jadi sedih dan baru sadar harus berpisah sama Rista. Ceritaku di kota ini sudah selesai dan harus kembali ke kampung halaman, mempersiapkan segalanya untuk studiku di kota lain lagi.

Saat kereta benar-benar akan berangkat, Rista turun. Sebelumnya kami sempat bersalaman untuk terakhir kalinya. Ia juga menyampaikan beberapa kata yang hanya kubalas dengan anggukan.

“Hati-hati.”

“Jangan lupa padaku.”

 “Kita ngga tau kapan kamu ke sini lagi dan kapan kita akan bertemu lagi.”

“Wish you luck. “

“Jangan lupa kabar-kabari aku ya kalau mau ke sini.”

“Bakal kangen!”

Dan benar, semua yang dikatakan Rista hanya aku balas dengan anggukan, seperti ketika aku akan berangkat meninggalkan Ibu juga Bapak kemudian mendengar pesan-pesan mereka. Bahkan ucapan terima kasih saja tidak keluar. Maaf Rista, karena aku ternyata terlalu sedih mengingat bahwa ke depan dan seterusnya tidak ada lagi makan Soto Banjar bersama di kantin sekolah, belajar fisika bersama ibumu saat menjelang ulangan harian juga ujian kenaikan kelas, dan karate setiap sabtu sore. Kalau pun kita ketemu lagi, tidak ada yang seperti ini.

Ah, ternyata sedih juga.

It’s really a long high school journey! Semoga kita bertemu lagi. Selamat jalan.”

Itu kata-kata terakhir Rista sebelum dia turun.

Kereta mulai berjalan pelan meninggalkan kota kecil penuh cerita. Perlahan pemandangan keramaian stasiun berganti dengan keramaian kota yang akan ditinggalkan kemudian disambut bentangan sawah-sawah yang masih hijau baru ditanami.

Semua mendadak melankolis.

Nah, sekarang giliranku yang menangis.

Cengeng.






1 comment: