Showing posts with label books. Show all posts
Showing posts with label books. Show all posts

18.2.18

[book] Tanah Surga Merah by Arafat Nur


By the way I prefer calling it 'Talking about a book' instead of reviewing a book since I don't know how to review books properly :p and besides, all I want to do is just write what I feel after reading book. So when I give 2 stars to a book, it doesn't mean the book is bad but it's because I didn't enjoy reading the book and it also works if I give 5 stars it doesn't mean the book is THAT AMAZING (but it can be tho).

.
.

Bercerita tentang seorang pria mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka atau GAM yang menjadi buronan 'kalangannya' sendiri dan polisi karena melakukan tindakan yang dianggap kriminal (bagi mereka) terhadap salah satu rekannya sendiri. Padahal, alasan Murad--nama pria tersebut- adalah untuk membela apa yang dianggapnya benar karena justru rekannya tersebutlah yang melakukan tindakan asusila. Namun, sayangnya, tindakan Murad tersebut tidak diterima oleh kelompoknya. Semenjak kejadian tersebut, Murad terus diincar. 
Merasa tidak aman, akhirnya ia terpaksa angkat kaki dari tanah kelahirannya. Berpindah-pindah demi keamanan nyawanya. Hingga beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk kembali ke Aceh dengan mengubah penampilannya terlebih dahulu dan berharap setibanya di sana, tidak ada yang mengenali dirinya, terutama orang-orang yang mengincarnya. 
Murad merasa perlu kembali ke tanah kelahirannya meski harus diteror terus-menerus.

Sesampainya di Aceh pun ia harus tetap hidup nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain guna melindungi diri sendiri dan orang-orang yang rumahnya ia singgahi dan tinggali.

Selama di Aceh, banyak kejadian-kejadian yang malah semakin memperburuk keadaan dan keberadaan Murad semakin tercium. Mereka yang mencari Murad semakin gencar memburunya. Sampai pada akhirnya Murad harus menetap lumayan lama di sebuah desa yang dianggap aman, namun sekaligus desa yang aneh. 

.
.

Awalnya saya hanya penasaran dengan Arafat Nur, penulis asal Aceh. Yah, saya senang aja gitu bisa membaca karya orang Aceh yang menang di Khatulistiwa Literary Award. 
Sebenarnya, Lampuki adalah novelnya yang sangat ingin saya baca. Di Goodreads pun reviewnya sangat bagus apalagi dibanding Tanah Surga Merah ini. Saya masukkan Lampuki ke daftar to-be-read saya bahkan juga ke wishlist di akun toko buku online. Tapi, karena list saya banyak banget, saya belum berkesempatan untuk baca buku itu sampai pada akhirnya stok buku Lampuki kosong di mana-mana.
Saya coba tanya langsung ke penulisnya via twitter, ternyata memang kosong dan belum dicetak ulang. Katanya baru berencana akan dicetak kembali yang saya tidak tahu kapan. Daripada terus menunggu Lampuki tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk membaca terlebih dahulu Tanah Surga Merah.

Jujur, untuk saya yang sangat penasaran dengan tulisannya Arafat Nur, buku ini sedikit meleset dari ekspetasi saya. Menurut saya, serunya novel ini baru bener-bener saya dapatkan di beberapa halaman terakhir, saat menuju akhir cerita. Tapi, endingnya juga malah gantung. Seperti ada yang belum terselesaikan. Apalagi kalau mengaitkan dengan halaman-halaman awal. Tujuan dari Murad ini sebenarnya apa? Apa kisah Murad ini memang ada lanjutannya? Atau memang sengaja dibikin seperti ini? 

Tapi, selain keluhan saya di atas, saya senang-senang aja sih sama bukunya. Latar waktu di novel ini, yaitu menjelang pilkada, benar-benar menggambarkan keadaan Aceh pada saat itu. Saya tahu benar beberapa objek di novel ini yang telah dibalut oleh fiksi karena saya juga tinggal di Aceh dan pada waktu itu juga saya terbilang sudah mengerti keadaan di Aceh.
Sindiran dan kritikan terhadap beberapa objek tersampaikan dengan baik! Lanjutkan, Bang. Kekesalan saya (dan saya yakin juga beberapa orang lainnya) terhadap objek (yang dengan sok-taunya saya anggap memang benar sama *gimana gimana???*) telah diwakilkan oleh novel ini. 

Saya berharap novel Lampuki segera dicetak ulang dan saya jauh lebih bisa menikmatinya mengingat review orang-orang juga lebih bagus dari Tanah Surga Merah ini (yah sebenarnya selera sih). Tapi, rasa penasaran saya untuk membaca Lampuki bukan semata-mata karena review orang ya. Pokoknya, intinya saya sangat sangat ingin baca buku tersebut. Biar triggered juga untuk memahami sejarah tanah kelahiran sendiri :) Karena biasanya untuk mendorong diri sendiri mengeksplor lebih dalam, saya mulai dari fiksi. Dan semoga memang benar jauh lebih bagus Tanah Surga Merah.

10.3.17

[book] Perempuan di Titik Nol

Harusnya buku ini bisa saya habiskan dalam beberapa hari saja atau mungkin bisa satu hari kalau saya memang meluangkan waktu tanpa melakukan hal lain dan hanya membaca buku ini. Tapi, untuk kali ini dan beberapa waktu ke depan, saya merasa bersalah kalau membaca buku lain selain materi SBMPTN L Padahal, kalau nggak membaca novel dan buku-buku yang tidak berhubungan dengan SBMPTN juga belum tentu saya mengerahkan waktu saya seluruhnya untuk belajar sih. Cuma merasa bersalah aja gitu, ngerti kan ya.

Saya nggak hitung berapa hari yang saya butuhkan untuk akhirnya menyelesaikan membaca ini. Kenapa saya bilang harusnya bisa lebih cepat menghabiskan novel ini? Karena halamannya relatif tipis dan bahasanya alhamdulillah nggak bikin pusing walaupun terjemahan (karena biasanya saya selalu ngeluh tentang buku terjemahan)

Okay lanjut ke bukunya.

spoiler!alert!

Novel yang ditulis oleh Nawal El – Saadawi, seorang dokter berkebangsaan Mesir, adalah novel yang didasari oleh kisah nyata seorang perempuan bernama Firdaus. Saadawi bertemu dengannya ketika mengunjungi penjara wantia setelah sebelumnya seorang dokter yang bekerja di sana menceritakan kasus Firdaus yang mendapat hukuman gantung karena telah membunuh seorang germo. Hal ini—tentang perempuan yang membunuh—adalah hal yang baru bagi Saadawi karena itu ia tertarik dengan kasus yang satu ini dan ia minta dipertemukan dengan Firdaus. Awalnya Firdaus tidak menerima kunjungan Saadawi karena ia memang menolak semua kunjungan. Namun, pada akhirnya ia menerima Saadawi ke dalam selnya. Firdaus menceritakan kisahnya yang mengerikan sekaligus menakjubkan bagi Saadawi.

Dalam buku ini, dikisahkan bagaimana Firdaus, sebagai salah satu perempuan di Mesir, yang hanya dijadikan budak seks dan pemuas birahi bagi para lelaki. Hal ini bahkan sudah ia lalui sejak kecil dan dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, pamannya sendiri salah satunya. Apa yang dilakukan oleh ayah, paman, suami,  temannya, dan semua laki-laki yang telah memperlakukannya dengan hina dan rendah, telah mengajarinya tumbuh dewasa menjadi pelacur.

Sering laki-laki mengajak menikah dengan alasan bahwa mereka akan melindungi perempuan. Tapi pada kenyataannya, setelah memperistri perempuan mereka akan menjadi lebih liar karena status yang berubah sudah menjadi suami. Tidak perlu membayar. Istri lebih bebas diperlakukan semena-mena oleh mereka. Mirisnya mereka sering membawa Islam untuk membenarkan perilaku mereka. Padahal, sungguh, Islam tidak kejam seperti itu. Mereka hanya menggunkan Islam untuk menjadi pembelaan atas perbuatan mereka.

Firdaus tidak berdaya melakukan perlawanan. Ada ketakutan yang membalutinya  juga ia takut karena ia adalah perempuan. Seolah perempuan di dunia ini diciptakan hanya untuk tunduk kepada laki-laki yang bahkan bukan siapa-siapanya. Tapi perempuan takut kepada mereka hanya karena gender laki-laki yang disandang oleh mereka. Firdaus sudah berkali-kali mencoba ‘membebaskan diri’ tapi hasilnya nihil. Kemana pun ia pergi, ia pasti akan menemukan laki-laki yang akan memperlakukannya seperti sebelum-sebelumnya. Melawan hanya akan menurunkan tangan mereka yang ringan untuk mendarat kasar dengan pukulan-pukulan mereka.

Namun, setelah bertahun-tahun menjadi korban pelecehan seksual tersebut, untuk kali pertama ia akhirnya berani melayangkan tangannya pada seorang germo yang telah merampas hak tubuh dan hak hidupnya. Sebelumnya, saat pertama kali bertemu dengan germo yang bernama Marzouk ini,  Firdaus sudah pernah mencoba menghindari ancaman yang pernah diberikan oleh Marzouk dengan mencoba melaporkannya kepada polisi. Tapi lucunya, germo tersebut memiliki perlindungan hukum. Alih-alih mengadu ke kepolisian untuk mencari perlindungan, malah yang melapor akan ditangkap.

Setelah menghantam Marzouk, Firdaus bahkan membunuh germo tersebut. Baru ia sadar, sejak pertama kali melayangkan hantaman itu, ketakutan yang ia rasakan selama ini untuk melawan itu ikut luruh. Hal tersebut ternyata tidak sesulit yang ia bayangkan. Setelah melakukan pembunuhan itu ia sama sekali tidak merasa takut. Firdaus merasa benar atas tindakan yang dilakukannya. Menurutnya, yang ia lakukan bukanlah sebuah kejahatan. Ia hanya membunuh seorang penjahat.

Tentu Firdaus ditangkap setelah kejadian tersebut dilaporkan. Tapi bukan pembunuhan tersebut yang sebenarnya menjadi alasan penangkapan terhadap Firdaus. Melainkan ketakutan mereka—orang-orang yang menangkap Firdaus—untuk membiarkan Firdaus menyuarakan kebenaran jika ia dibiarkan hidup.

 “Hidup saya berarti kematian mereka. Kematian saya berarti hidup mereka. Mereka ingin hidup. Dan hidup bagi mereka berarti semakin banyak kejahatan, semakin banyak perampokan, perampasan yang tak terbatas.”

Alih-alih merasa gelisah diberi hukuman gantung, Firdaus merasa senang menunggu kematiannya. Ia bahkan menolak tawaran mengajukan surat permohonan kepada presiden dan meminta maaf agar hukuman gantung tersebut dibatalkan. Dia merasa senang akan mati karena ia telah melakukan hal yang benar.

“Dan untuk sampai kepada kebenaran berarti bahwa seseorang tidak lagi merasa takut mati. Karena kematian dan kebenaran adalah sama dalam hal bahwa keduanya mensyaratkan keberanian yang besar bila seorang ingin menghadapi mereka.”
Seperti kata Firdaus, ia tidak membunuh dengan pisau, ia membunuh dengan kebenaran. Kebenaran yang ditakuti oleh mereka. Kebenaran mematikan rasa takut mati.

Saya tidak suka melabeli diri saya, apalagi dalam hal ideologi yang dianut. Karena sebenarnya saya tidak mengetahui apa-apa. Apa yang keluar dari mulut saya hanya ke-soktahu-an saya. Tentang ideologi tadi saja saya nggak sepenuhnya paham apa yang saya omongi hehehehe. Memalukan rasanya kalau saya mengklaim diri saya untuk suatu paham atau hal tertentu. Apalagi kalau saya coba-coba melabeli diri saya seorang feminist? Mungkin kalian akan tertawa. Mengingat saya sendiri tidak begitu paham hal tersebut

Buku ini saya rekomendasikan untuk yang ingin membaca buku tentang kesetaraan gender (terutama perempuan untuk buku ini) Buku yang mengajak kita untuk tidak berpikir bahwa perempuan hanya dijadikan objek pemenuh ego dan kepuasan laki-laki.

Baik perempuan ataupun laki-laki, sila baca buku ini untuk ikut menggerakkan keadilan dan membantu perempuan memperoleh kesetaraan. Karena seperti Mochtar Lubis, katakan di pengantarnya, walaupun itu  udah sekitar tiga puluhan tahun yang lalu, kita yang hidupnya terbilang beruntung ini lupa pada kenyataannya masih banyak perempuan di Indonesia yang belum diperlakukan dengan layak, baik itu oleh suami atau bahkan yang bukan ‘siapa-siapa’. Dan untuk perempuannya sendiri, juga banyak yang belum sadar atas ketidakadilan tersebut, belum sadar akan haknya. 

Omong-omong, dalam rangka menyelesaikan tugas sekolah sekitar dua tahun yang lalu, saya dan teman-teman sekolah saya, berkesempatan untuk mendatangi langsung ke salah satu lembaga yang bersangkutan mengatasi kasus pelanggaran hak terhadap wanita, saya jadi benar-benar tau bahwa emang masih ada perempuan-perempuan yang belum sepenuhnya mendapatkan hak mereka.

Pengantar yang disampaikan oleh Mochtar Lubis juga membuat saya nggak sabar buat mulai membaca buku ini (berhubung yang dibaca adalah buku terjemahan) karena mungkin ada yang tidak terlalu suka membaca buku terjemahan (seperti saya) tapi untuk buku ini, bahasa terjemahannya enak dibaca!


Udah ah.

Saya pribadi baca ini sebenarnya karena reviewnya bagus.